Latest News

SERUAN PONTIANAK MENUAI KONTROVERSI

Sabtu, 03 Oktober 2009 , Posted by Qbenk Manusia Pribumi at 20.31


lagi lagi sebuah iklan perdamaian Pontianak <28/9/09>menuai kontroversi, petisi yang digawangi sekitar 70an tokoh yang mengklaim mewakili beberapa etnis, tokoh agama, aktivis dan lain-lain ini menurut beberapa masyarakat justru tidak efektif bahkan membangun kembali luka lama yang seharusnya saat ini telah hilang dan kembali kita bangun kebersamaan antar etnis.


Ketika fakta membaca isi dari seruan tersebut, sebenarnya wajar jika ada sebagain saudara kita dari etnis dayak atau melayu keberatan karena isi dari seruan tersebut hanya terfokus mengupas korban pembantaian dari pihak Tionghoa, dan madura, tanpa membahas akar dari permasalahan konflik etnis tersebut .

yang lebih bijaksana ialah seharusnya iklan tersebut tidak perlu ditayangkan di media masa, cukuplah kiranya menjadi sebuah diskusi antar tokok semua etnis dan membahas secara profesional, ditelaah secara akademis, beru kemudian hasilnya diterjemahkan kepada masyarakat, semoga peristiwa yang cukup menghebohkan warga ini dapat terselesaikan dengan arif.

LAMPIRAN ISI SERUAN PONTIANAK

"seruan Pontianak" :
Kami prihatin dengan ketegangan belakangan ini, antara beberapa warga Kalimantan Barat. Sengketa kecil antar perseorangan, dari soal mobil tergores, parkir motor, sekaleng cat hingga pembelaan perempuan, berujung perkelahian besar.

Kami sadar Kalimantan Barat adalah kawasan rawan kekerasan. Perubahan sosial besar-besaran, sejak penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia, lantas pengalaman 1950an serta masa Orde Baru, menciptakan banyak perubahan di Borneo. Kesultanan-kesultanan dipinggirkan. Batas-batas berubah. Hutan gundul. Lingkungan hidup rusak. Komposisi populasi berubah. Pemilihan umum sekarang dilakukan langsung.

Akar kekerasan di Kalimantan Barat adalah pembantaian kurang lebih 3,000 orang Tionghoa pada 1967. Kekerasan berbuah kekerasan. Pada 1997, sekitar 600 warga Indonesia etnik Madura dibunuh di Sanggau Ledo. Pada 1999, setidaknya 3,000 khususnya orang Madura dibantai dan 120,000 melarikan diri dari Sambas. Penderitaan mereka tentu jadi ingatan pahit kita semua. Kekerasan ini membuat masyarakat luas dirugikan. Kami punya kesan negara Indonesia membiarkan akar kekerasan merasuk semakin dalam.

Kelemahan penegakan hukum, policy pemerintahan yang kurang bermutu serta ketiadaan upaya mencari kebenaran dan keadilan, membuat kekerasan berakar makin dalam di kawasan ini. Akibatnya, banyak warga Kalimantan Barat menekankan simbol-simbol etnik, adat dan budaya secara tidak proporsional: Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Tionghoa dan sebagainya. Bila ada persoalan kriminal biasa, orang menggesernya jadi persoalan kelompok etnik atau agama.

Namun kami ingat bahwa fitrah manusia adalah berbeda-beda dan beragam-ragam. Perbedaan bukan alasan melakukan kekerasan. Keragaman bukan alasan saling bermusuhan. Sejarah Kalimantan Barat juga mencerminkan kebersamaan, misalnya, kawin campur dan toleransi antar-agama. Manusia bagaimana pun berkembang sesuai fitrahnya. Memiliki organisasi etnik dan agama, juga bukan kejahatan, namun ia perlu dijalani dalam suatu masyarakat hukum.

Oleh karena itu, kami menyerukan warga Kalimantan Barat untuk belajar menyelesaikan perbedaan pendapat lewat cara-cara damai. Gunakan jalur hukum. Manfaatkan lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Kami juga menyerukan kepada para polisi, jaksa dan hakim untuk bekerja keras, tidak berat sebelah dan bertindak sejujur-jujurnya dalam menegakkan hukum. Kami sadar hukum bukan panglima di negara Indonesia. Kami sadar korupsi mengakar bersama dengan kekerasan. Namun kita perlu memanfaatkan ruang-ruang hukum yang ada, sesempit apapun, untuk memperkuat prinsip negara hukum.

Kami minta Presiden Republik Indonesia dan Gubernur Kalimantan Barat melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam pembunuhan dan pengusiran orang Tionghoa tahun 1967 maupun orang Madura pada 1997 dan 1999. Kami minta pemerintah membentuk komisi independen untuk mencari para korban, merekam kesaksian mereka serta menyelidiki orang-orang, yang dianggap bertanggungjawab terhadap kekerasan-kekerasan tersebut, serta menyelesaikannya lewat pengadilan.

Kami percaya selama orang belum bisa belajar dari masa lalu, orang-orang yang dulu melakukan pembunuhan, juga takkan takut untuk bikin pengerahan lewat etnik, budaya atau agama, dan melakukan kekerasan lagi. Selama kebenaran dan keadilan tidak ditegakkan, selama itu pula kita tidak mengerti bagaimana hidup damai dalam persaudaraan yang tulus.

Abdullah HS
Agustinus
Ahmad Shiddiq
Alexander Mering
Amrin Zuraidi Rawansyah
Andi Fachrizal
Andi Nuradi
Andika Lay
Andreas Harsono
Ansela Sarating
Aseanty Widaningsih Pahlevi
Aswandi
Aulia Marti
Bas Andreas
Basilius Triharyanto
Benny Susetyo Pr
Bong Su Mian
Budi Miank
Budi Rahman
Chairil Effendy
Charles Wiriawan
Deman Huri Gustira
Dewi Ari Purnamawati
Dian Lestari
Dwi Syafriyanti
Faisal Riza
Fitriani
Frans Tshai
Gerry van Klinken
Gusti Suryansyah
Gustiar
Hairul Mikrad
Haitami Salim
Hamka Siregar
Hendrikus Christianus
Heriyanto Sagiya
Hermayani Putera
Ilyas Bujang
Indah Lie
Johanes Robini Marianto OP
K. Husnan KH Nuralam
Koesnan Hoesie
Kristianus Atok
Laili Khairnur
Marselina Maryani Soeryamassoeka
Max Yusuf Alqadrie
Mohammad
Nur Iskandar
Nuralam
Pabali Musa
Padmi Tjandramidi
Pahrian Siregar
Paulus Florus
Pay Jarot Sujarwo
Ridwan
Rizal Adriyanshah
Rizawati
Rizky Wahyuni
Rohana
Sapariah Saturi Harsono
Sarumli Sanah
Severianus Endi
Siti Lutfiyah
Stefanus Akim
Subardi
Subro
Supriadi
Syamsudin
Tan Tjun Hwa
Tanto Yakobus
Viryan Azis
W. Suwito
Wendi Jayanto
Yohanes Supriyadi
Yulianus
Yusriadi
Zeng Wei Jian